Gaya pacaran anak remaja (sumber via linetoday.com)
Solusi tepat bagi Mahasiswa yang sudah kebelet nikah.
Jangan lama-lama pacaran. Jika penghalangmu cuma masalah kuliah, langsung nikah aja.
Bahkan ini sudah di anjurkan Rasulullah sedari dulu.
Pertama, di zaman ketika syahwat banyak tersebar, dianjurkan untuk menikah muda.
Nabi memerintahkan para pemuda untuk segera menikah. Karena ini solusi untuk meredam syahwat. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Wahai sekalian pemuda, barangsiapa di antara kalian yang sudah mampu untuk menikah, maka segeralah menikah, karena nikah akan lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kehormatan.” (Muttafaqun alaihi)
Imam Ahmad pernah memberikan nasehat,
“Sepatutnya orang di zaman sekarang untuk mencari hutang agr segera menikah, supaya dia tidak memandang hal-hal yang tidak halal sehingga amal shalih yang dilakukan menjadi sia-sia.” (Ta’zhim As-Sunnah, hlm.23).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi Aisyah radhiyallahu ‘anha ketika beliau berusia 7 tahun. dan Beliau baru kumpul dengan Aisyah, ketika Aisyah berusia 9 tahun.
Dari Urwah, dari bibinya, Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau bercerita,
Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menikah dengan Aisyah radhiyallahu ‘anha ketika Aisyah berusia 7 tahun. dan Aisyah kumpul dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau berusia 9 tahun, sementara mainan Aisyah bersamanya. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat ketika Aisyah berusia 18 tahun. (HR. Muslim 3546)
Baca Juga :
Dalam riwayat lain, Aisyah radhiyallahu ‘anha juga bercerita,
“Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menikahiku pada saat usiaku 6 tahun, dan beliau serumah denganku pada saat usiaku 9 tahun.” (Muttafaqun ‘alaih).
Semua riwayat ini dalil bahwa pasangan suami istri yang telah menikah, tidak harus langsung kumpul. Boleh juga mereka tunda sesuai kesepakatan.
Ar-Ruhaibani mengatakan,
Jika salah satu dari suami istri minta ditunda maka harus ditunda selama rentang waktu sesuai kebiasaan yang berlaku, untuk persiapan bagi pihak yang minta ditunda, seperti 2 atau 3 hari, dalam rangka mengambil yang paling mudah. Dan acuan dalam hal ini kembali kepada apa yang berlaku di masyarakat. karena tidak ada acuan baku di sana, sehingga harus dikembalikan kepada tradisi yang berlaku di masyarakat. (Mathalib Ulin Nuha, 5/257).
Bisa juga batasan penundaan itu kembali kepada kesepakatan kedua pihak.
Dalam Fatwa Syabakah Islamiyah dinyatakan,
Syariat tidak menentukan batas waktu tertentu sebagai rentang antara akad dengan kumpul. Karena itu, acuan dalam rentang ini kembali kepada ‘urf (tradisi masyarakat) atau kesepakatan antara suami istri. (Fatwa Syabakah Islamiyah, no. 263188)
Ulama sepakat bahwa suami berkewajiban memberi nafkah istrinya dengan ketentuan:
[1] Istri telah baligh
[2] Istri tidak nusyuz.
Ibnul Mundzir mengatakan,
“Para ulama sepakat bahwa suami wajib menafkahi isterinya jika isteri baligh dan tidak nusyuz (membangkang terhadap suami tanpa alasan)”.
[3] Istri telah melakukan tamkin min nafsiha (bersedia untuk berhubungan)
Jumhur ulama Malikiyah, Syafiiyah, dan Hambali berpendapat, selama istri belum bersedia untuk melakukan hubungan badan atau pisah dengan suaminya karena alasan tertentu, maka sang suami tidak berkewajiban memberi nafkah.
Dalilnya bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam akad nikah dengan Aisyah saat usia 6 tahun dan Nabi tidak menafkahinya kecuali setelah hubungan badan di usia Aisyah 9 tahun.
Ibnu Qudamah mengatakan,
Bahwa ketika wanita telah menyerahkan dirinya kepada suaminya, karena alasan kewajiban, maka wanita itu berhak mendapatkan nafkah sebagai kewajiban bagi suaminya untuk menutupi semua kebutuhannya. (al-Mughni, 8/195)
Demikian pula yang ditegaskan dalam Raudhatu Thalib dengan Syarahnya Asna al-Mathalib Kitab Syafiiyah ,
Nafkah tidak wajib hanya karena akad nikah, namun karena tamkin (memungkinkan terjadi hubungan badan). (Asna al-Mathalib, 3/433)
Karena itu, Mahasiswa dan Mahasiswi yang melakukan akad nikah, lalu mereka berpisah sampai batas waktu tertentu, nafkah masing-masing boleh tetap ditanggung orang tuanya masing-masing. Setelah mereka kumpul, barulah kewajiban nafkah itu dibebankan ke suami.
Keempat pendapat diatas dijawab oleh Ustadz Ami Nur Bait dari konsultasisyariah.com.
Bagaimana menurut anda para mahasiswa ? masih ingin terus berpacaran ?
Demikian, Allahu a’lam…
Solusi tepat bagi Mahasiswa yang sudah kebelet nikah.
Jangan lama-lama pacaran. Jika penghalangmu cuma masalah kuliah, langsung nikah aja.
Bahkan ini sudah di anjurkan Rasulullah sedari dulu.
Pertama, di zaman ketika syahwat banyak tersebar, dianjurkan untuk menikah muda.
Nabi memerintahkan para pemuda untuk segera menikah. Karena ini solusi untuk meredam syahwat. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
“Wahai sekalian pemuda, barangsiapa di antara kalian yang sudah mampu untuk menikah, maka segeralah menikah, karena nikah akan lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kehormatan.” (Muttafaqun alaihi)
Imam Ahmad pernah memberikan nasehat,
ينبغي للعبد في هذا الزمان أن يستدين ويتزوج لئلا ينظر ما لا يحل فيحبط عمله
Jika demikian di zaman imam Ahmad, bagaimana lagi dengan zaman sekarang?!
Kedua, BUKAN syarat dan bukan pula kewajiban dalam islam bahwa siapapun yang melakukan akad nikah harus segera kumpul dan melakukan hubungan badan. Artinya, boleh saja suami istri berpisah setelah akad nikah, sampai batas waktu sesuai kesepakatan.Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahi Aisyah radhiyallahu ‘anha ketika beliau berusia 7 tahun. dan Beliau baru kumpul dengan Aisyah, ketika Aisyah berusia 9 tahun.
Dari Urwah, dari bibinya, Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau bercerita,
أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- تَزَوَّجَهَا وَهْىَ بِنْتُ سَبْعِ سِنِينَ وَزُفَّتْ إِلَيْهِ وَهِىَ بِنْتُ تِسْعِ سِنِينَ وَلُعَبُهَا مَعَهَا وَمَاتَ عَنْهَا وَهِىَ بِنْتُ ثَمَانَ عَشْرَةَ
Baca Juga :
- MasyaAllah, Ternyata di Kehidupan Ini Terdapat Pohon Tauhid dan Pohon Syirik
- Inilah 3 Amalan yang Pahalanya Sama Dengan Ibadah Haji dan Umroh
Dalam riwayat lain, Aisyah radhiyallahu ‘anha juga bercerita,
تَزَوَّجَنِي النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا بِنْتُ سِتِّ سِنِينَ، وَبَنَى بِي وَأَنَا بِنْتُ تِسْعِ سِنِينَ
Semua riwayat ini dalil bahwa pasangan suami istri yang telah menikah, tidak harus langsung kumpul. Boleh juga mereka tunda sesuai kesepakatan.
Ar-Ruhaibani mengatakan,
(ومن استمهل منهما) أي الزوجين الآخر (لزمه إمهاله ما) أي: مدة (جرت عادة بإصلاح أمره) أي: المستمهل فيها (كاليومين والثلاثة) طلبا لليسر والسهولة، والمرجع في ذلك إلى العرف بين الناس؛ لأنه لا تقدير فيه، فوجب الرجوع فيه إلى العادات
Bisa juga batasan penundaan itu kembali kepada kesepakatan kedua pihak.
Dalam Fatwa Syabakah Islamiyah dinyatakan,
فلم يأت الشرع بتأقيت معين للفترة ما بين العقد والبناء (الدخلة)، وبالتالي فالمرجع في تحديده إلى العرف وما توافق عليه الزوجان
Mahasiswa dan mahasiswi yang menikah, mereka berhak untuk menunda kumpul, sesuai kesepakatan. Baik karena pertimbangan belajar, atau masukan dari orang tua atau karena pertimbangan lainnya, termasuk pertimbangan masalah nafkah.
Bagaimana untuk tanggungan nafkah?
Ketiga, menjawab mengenai kewajiban nafkahUlama sepakat bahwa suami berkewajiban memberi nafkah istrinya dengan ketentuan:
[1] Istri telah baligh
[2] Istri tidak nusyuz.
Ibnul Mundzir mengatakan,
“Para ulama sepakat bahwa suami wajib menafkahi isterinya jika isteri baligh dan tidak nusyuz (membangkang terhadap suami tanpa alasan)”.
[3] Istri telah melakukan tamkin min nafsiha (bersedia untuk berhubungan)
Jumhur ulama Malikiyah, Syafiiyah, dan Hambali berpendapat, selama istri belum bersedia untuk melakukan hubungan badan atau pisah dengan suaminya karena alasan tertentu, maka sang suami tidak berkewajiban memberi nafkah.
Dalilnya bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam akad nikah dengan Aisyah saat usia 6 tahun dan Nabi tidak menafkahinya kecuali setelah hubungan badan di usia Aisyah 9 tahun.
Ibnu Qudamah mengatakan,
أن المرأة إذا سلمت نفسها إلى الزوج , على الوجه الواجب عليها , فلها عليه جميع حاجتها
Demikian pula yang ditegaskan dalam Raudhatu Thalib dengan Syarahnya Asna al-Mathalib Kitab Syafiiyah ,
لا تجب النفقة بالعقد بل بالتمكين
Karena itu, Mahasiswa dan Mahasiswi yang melakukan akad nikah, lalu mereka berpisah sampai batas waktu tertentu, nafkah masing-masing boleh tetap ditanggung orang tuanya masing-masing. Setelah mereka kumpul, barulah kewajiban nafkah itu dibebankan ke suami.
Keempat pendapat diatas dijawab oleh Ustadz Ami Nur Bait dari konsultasisyariah.com.
Bagaimana menurut anda para mahasiswa ? masih ingin terus berpacaran ?
Demikian, Allahu a’lam…