Gambar dilansir dari tribunnews.com
Gempa dan tsunami Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah sungguh begitu mengejutkan.
Gempa magnitudo 7,4 yang sebelumnya diberitakan tidak memicu tsunami, nyatanya malah datang dan menghancurkan semua yang ada.
Lantas apa yang sebenarnya terjadi? Beriut fakta-fakta mencengangkan yang diungkap para ahli!
Duka akibat musibah gempa dan tsunami di Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah masih begitu kita rasakan.
Tercatat 844 orang meninggal dunia per 1 Oktober 2018. Belum terhitung para korban yang masih terjebak di bawah reruntuhan bangunan.
Namun, apa sebenarnya yang memicu gempa dan tsunami Palu dan Donggala?
Ada sejumlah fakta ilmiah yang diungkapkan para Ahli tentang gempa dan tsunami yang mengejutkan tersebut.
Berikut beberapa fakta yang telah kami rangkum dari berbagai sumber:
1. BMKG menyebut, gempa bahwa gempa kemarin diakibatkan oleh sesar Palu Koro.
Sesar itu memanjang di wilayah Sulawesi Tengah dan sepertiganya menjorok ke lautan."Disebabkan oleh sesar Palu Koro yang berada di sekitar Selat Makassar," kata Rahmat Triyono, Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG dalam konferensi pers pada Jumat (28/9/2018).
Berbeda dengan gempa Aceh tahun 2004 yang memicu tsunami besar dan mekanisme sesarnya naik, gempa Donggala punya mekanisme sesar geser.
Artinya, ada dua lempengan yang berdekatan dan gerakannya mendatar satu sama lain.
Berbeda dengan sesar naik di mana ada salah satu yang bergerak vertikal relatif dengan yang lain. Sesar geser sebesar apapun magnitudonya biasanya tidak akan memicu tsunami besar, kecuali jika diikuti dengan longsoran yang cukup besar akibat getaran gempanya.
2. BPPT juga menyebut gempa yang berpusat di sekitar Sesar Palu-koro itu memiliki kekuatan 200 kali bom Hiroshima pada perang dunia kedua.
"Gempa bumi ini momen magnitudenya adalah sekitar 2.5x10^20 Nm yang enerjinya setara dengan 3x10^6 Ton-TNT atau 200 kali bom atom Hiroshima,'' kata Deputi Teknologi Industri Rancang Bangun dan Rekayasa BPPT Wahyu W. Pandoe.3. BNPB menyebut kecepatan tsunami yang terjadi di Palu, Sulawesi Tengah, mencapai 800 kilometer/jam saat berada di tengah laut.
Begitu sampai ke daratan, kecepatan berkurang tapi kekuatannya mampu meluluhlantakkan bangunan yang ada."Kekuatan tsunami sangat besar, di tengah laut kecepatan tsunami mencapai 800 km/jam, semakin ke darat gelombang semakin tinggi. Kecepatan berkurang karena terhambat oleh dasar lautan. Tetapi dengan massa yang besar dapat menghancurkan seluruh infrastruktur dan bangunan di pantai," ujar Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho di Graha BNPB, Jalan Pramuka, Jakarta Timur, Sabtu (29/9/2018).
4. Tsunami dipicu longsoran sedimen di dasar laut
Sutopo menjelaskan tsunami dipicu longsoran sedimen di dasar laut. Longsor itu disebut terjadi akibat gempa 7,4 SR yang mengguncang Donggala.Sedimen itu dibawa dari sungai yang bermuara di Teluk Palu. Sutopo mengatakan sedimen tersebut belum terkonsolidasi dengan kuat sehingga saat diguncang gempa terjadi longsor.
"Kenapa terjadi tsunami cukup besar, kami telah melakukan koordinasi dengan beberapa ahli tsunami ada 2 penyebab. Pertama, di Teluk Palu, yang kalau berdasarkan video tsunami menerjang cukup tinggi, ini disebabkan ada longsoran sedimen dasar laut kedalaman 200-300 meter," jelasnya.
"Ketika diguncang gempa 7,4 SR tadi akhirnya runtuh, longsor, dan membangkitkan tsunami. Kalau dilihat video di Pantai Talise, tsunami awal itu airnya jernih, tetapi kemudian datang dari laut bergelombang dan naik-turun airnya kondisinya keruh. Menurut analisis ahli, itu kemungkinan dipicu longsoran di dasar laut," lanjut penjelasan Sutopo.
4. Gempa dan Tsunami disertai fenomena Likuifaksi
Setelah gempa Donggala berkekuatan 7,4 SR disertai tsunami, terjadi likuifaksi atau penurunan tanah akibat memadatnya volume lapisan tanah. Akibatnya sebuah desa luluh lantah seperti tersedot kedalam tanah.Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati menjelaskan, fenomena ini biasanya terjadi saat gempa bumi terjadi yaitu pada daerah-daerah atau zona-zona dengan tanah yang mengandung air.
"Fenomena ini biasanya terjadi saat gempa bumi terjadi yaitu pada daerah-daerah atau zona-zona dengan tanah yang mengandung air. Misalnya yang sering terjadi itu di dekat pantai atau di daerah gempa, ada lapisan yang mengandung air misalnya tanah pasir," jelas Dwikorita, Senin (1/10/2019).
Mantan Rektor Universitas Gadjah Mada ini memaparkan bahwa likuifikasi terbagi menjadi dua jenis.
Ada yang berupa semburan air dari dalam tanah keluar memancar seperti air mancur.
"Bisa juga lapisan pasir itu menjadi padat karena gempa yang sangat kuat dan airnya terperas keluar sehingga mengalir membawa lapisan tanah tadi, jadi seakan-akan hanyut," ujar Dwikorita.
Baca Juga:
Tiga Hari Tertimbun Gempa, Gadis Ini Ditemukan Selamat dengan Memeluk Jasad Ibunya
Astagfirullah! Sisi Lain Dari Kota Palu, yang Jarang Diketahui
"Pengoperasian alat terkendala biaya operasional. Di satu sisi ancaman bencana meningkat," kata Kepala Pusat Data, Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho.
"Kenapa rusak? Banyak mengalami vandalisme seperti sensor diambil, lampu kedap-kedip diambil. Buat tambatan kapal. Biaya maintenance berkurang. Sejak 2012 rusak," ujar Sutopo.
5. Deteksi Tsunami Membisu
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengungkapkan fakta mengejutkan. Rupanya, alat deteksi dini tsunami atau Buoy Tsunami di Indonesia sudah tidak bisa dioperasikan sejak 2012."Pengoperasian alat terkendala biaya operasional. Di satu sisi ancaman bencana meningkat," kata Kepala Pusat Data, Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho.
6. Malapetaka Vandalisme
Rusaknya alat deteksi tsunami ternyata juga karena ulah masyarakat yang berperilaku vandalisme. Meski demikian, early warning system tsunami tetap ada."Kenapa rusak? Banyak mengalami vandalisme seperti sensor diambil, lampu kedap-kedip diambil. Buat tambatan kapal. Biaya maintenance berkurang. Sejak 2012 rusak," ujar Sutopo.